Kejaksaan Agung Tetapkan Sembilan Tersangka dalam Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang Pertamina-KKKS
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sembilan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023. Salah satu yang terlibat adalah Mohammad Riza Chalid (MRC), seorang pemilik perusahaan yang disebut sebagai penerima manfaat akhir dari PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyampaikan bahwa Riza Chalid diduga saat ini berada di Singapura. Menurut informasi yang diperoleh, Riza Chalid merupakan pemilik saham besar dari PT Orbit Terminal Merak (OTM). Diketahui, ia tidak pernah memenuhi panggilan penyidik selama tiga kali berturut-turut.
BACA JUGA
“Yang bersangkutan adalah BO (beneficial owner) tadi sudah sangat jelas di PT Orbit Terminal Merak (OTM). Jadi dia sekarang keberadaannya diduga tidak di dalam Indonesia,” ujar Qohar dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (10/7) malam.
Menurut Qohar, Kejagung telah melakukan upaya maksimal untuk memanggil Riza Chalid secara patut. Namun, hingga kini, ia belum juga hadir. Oleh karena itu, Kejagung melakukan kerja sama dengan perwakilan kejaksaan Indonesia di Singapura guna mencari keberadaan Riza Chalid dan membawanya kembali ke Indonesia.
“Berdasarkan informasi, yang bersangkutan tidak tinggal di dalam negeri. Untuk itu, kami sudah kerja sama dengan perwakilan kejaksaan Indonesia, khususnya di Singapura, kami sudah ambil langkah-langkah karena informasinya ada di sana,” tambah Qohar.
Profil dan Rekam Jejak Riza Chalid
Riza Chalid dikenal sebagai “Saudagar Minyak” atau The Gasoline Godfather karena perannya dalam bisnis impor minyak. Ia terlibat dalam perdagangan minyak melalui Pertamina Energy Trading Limited (Petral), anak perusahaan PT Pertamina.
Selain itu, Riza memiliki sejumlah perusahaan minyak berbasis di Singapura, seperti Supreme Energy, Paramount Petroleum, Straits Oil, dan Cosmic Petroleum. Ia menikah dengan Roestriana Adrianti (Uchu Riza) pada 1985 dan mereka menghabiskan banyak waktu di Singapura. Pasangan ini juga aktif dalam dunia pendidikan dengan mendirikan sekolah di Pondok Labu, Jakarta Selatan, pada 2004. Mereka juga membuka tempat bermain anak bernama Kidzania di Pacific Place, Jakarta, pada 2007.
Dari pernikahan tersebut, Riza dan istrinya dikaruniai dua anak, yaitu Muhammad Kerry Adrianto dan Kenesa Ilona Rina.
Riwayat Hukum Riza Chalid
Selain dikenal sebagai pengusaha, Riza sempat terseret dalam kasus korupsi impor 600 ribu barel minyak mentah Zatapi. Pengadaannya melalui dua perusahaan yang terafiliasi dengan Riza, yaitu Global Resources Energy dan Gold Manor. Akibat pembelian minyak mentah tersebut, Pertamina diduga mengalami kerugian Rp 65 miliar. Namun, kasus ini tidak berlanjut karena Bareskrim Polri menilai tidak ada kerugian negara.
Riza juga sempat terlibat dalam skandal “Papa Minta Saham”, yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto serta Presiden Direktur PT Freeport Indonesia saat itu, Maroef Sjamsoedin. Kasus ini mencuat setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Sudirman Said, melaporkan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Setya dituding meminta jatah 11% saham Freeport dengan mencatut nama Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Peran Riza Chalid dalam Kasus Tata Kelola Minyak
Kejagung mengatakan, Riza Chalid bersama tersangka lain yakni Hanung Budya Yuktyanta, Alfian Nasution (AN), serta Gading Ramadhan Joedo (GRJ) melawan hukum untuk menyepakati kerjasama penyewaan terminal BBM Tangki Merak. Mereka disebut mengintervensi kebijakan Tata Kelola PT Pertamina berupa memasukkan rencana kerjasama penyewaan Terminal BBM Merak saat Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan stok BBM.
Mereka juga disebut memanipulasi kontrak kerja sama, serta menetapkan harga kontrak yang tinggi. Adapun Gading Ramadhan merupakan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak yang telah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini.
“Kemudian, menghilangkan skema kepemilikan aset Terminal BBM Merak dalam kontrak kerja sama serta menetapkan harga kontrak yang sangat tinggi,” ujar Qohar.
Perbuatan para tersangka tersebut disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kerugian Negara dalam Kasus Ini
Dalam perkara ini, total kerugian keuangan dan perekonomian negara ditaksir sebesar Rp 285.017.731.964.389. Setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan dan dinyatakan sehat, selanjutnya tim penyidik melakukan penahanan terhadap para tersangka untuk 20 hari ke depan sejak Kamis 10 Juli 2025.