Prediksi Defisit APBN 2025 dan Penyebabnya
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp 662 triliun atau setara dengan 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun angka ini dianggap masih dalam batas aman dan terkendali, kondisi tersebut menunjukkan tekanan fiskal yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, termasuk peningkatan kebutuhan belanja negara dan penurunan pendapatan.
Defisit APBN tidak hanya mencerminkan beban belanja pemerintah, tetapi juga upaya untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dan perlindungan sosial. Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, pemerintah harus tetap menjaga disiplin anggaran sambil memastikan bahwa instrumen fiskal tetap berfungsi untuk mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA
Beberapa faktor utama yang menyebabkan defisit APBN 2025 antara lain:
1. Penurunan Penerimaan Pajak Akibat Gangguan Sistem Perpajakan Digital
Salah satu penyebab utama defisit adalah anjloknya penerimaan pajak hingga 30 persen pada awal 2025. Gangguan teknis pada sistem administrasi perpajakan digital Coretax menghambat proses pelaporan dan pembayaran pajak. Akibatnya, arus kas negara terganggu, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara penerimaan dan belanja.
2. Kenaikan Belanja Pemerintah untuk Program Prioritas
Di sisi lain, pemerintah meningkatkan belanja negara secara signifikan untuk mendanai berbagai program prioritas seperti Makan Bergizi, bantuan sosial, dan subsidi pendidikan. Tujuan dari program-program ini adalah menjaga daya beli masyarakat serta mendorong pemulihan ekonomi. Namun, pengeluaran yang tinggi di tengah penerimaan yang menurun turut memperlebar defisit.
3. Pengeluaran Rutin dan Terjadwal Tetap Berjalan Meski Pendapatan Turun
Belanja negara dalam bentuk pengeluaran rutin dan proyek yang telah direncanakan sejak awal tetap dijalankan meskipun penerimaan negara tidak mencukupi. Menurut Menteri Keuangan, hal ini menjadi salah satu penyebab utama defisit yang mencapai Rp31,2 triliun di awal tahun, setara 0,13 persen dari PDB.
4. Ketidakstabilan Pendapatan Negara Non-Pajak
Penerimaan dari sektor non-pajak, seperti sumber daya alam dan dividen BUMN, juga tidak stabil. Fluktuasi harga komoditas utama seperti batu bara dan minyak mentah membuat penerimaan dari sektor ini sulit diprediksi. Ketika harga komoditas turun, pendapatan negara ikut melemah.
5. Tekanan dari Situasi Ekonomi dan Geopolitik Global
Pelemahan pertumbuhan ekonomi global, ketidakpastian pasar keuangan, serta ketegangan geopolitik menambah tekanan terhadap fiskal nasional. Harga komoditas yang berfluktuasi dan investasi asing yang melambat semakin mempersempit ruang gerak fiskal pemerintah.
Untuk menghadapi defisit APBN 2025, pemerintah telah melakukan beberapa langkah strategis, seperti mencairkan saldo anggaran lebih (SAL), menunda proyek-proyek yang belum mendesak, serta melakukan efisiensi anggaran di berbagai kementerian dan lembaga. Namun, langkah-langkah tersebut bersifat jangka pendek. Untuk jangka panjang, solusi atas defisit APBN harus mencakup reformasi sistem perpajakan, perencanaan belanja yang lebih selektif, serta penguatan penerimaan dari sektor-sektor non-tradisional yang lebih stabil.
Defisit APBN 2025 mengajarkan bahwa ketahanan fiskal tidak hanya bergantung pada besarnya penerimaan atau pengeluaran, tetapi juga pada kesiapan sistem, fleksibilitas kebijakan, dan kemampuan negara dalam merespons dinamika ekonomi secara cepat dan efisien. Evaluasi menyeluruh dan reformasi menyeluruh menjadi kunci untuk mencegah defisit serupa terjadi dalam siklus fiskal berikutnya.