Pekerjaan Layak di Tengah Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Nyata

kabarpasarNEWS

Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Merata

Secara makro, ekonomi Indonesia tampak menjanjikan. Pertumbuhan ekonomi tercatat stabil, bahkan mencapai angka yang dianggap sehat oleh banyak analis. Pemerintah juga merilis data positif tentang penurunan tingkat pengangguran terbuka, peningkatan konsumsi rumah tangga, serta arus investasi yang deras. Sepertinya, perekonomian bangsa sedang bergerak menuju kemajuan yang merata.

Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Di kota-kota besar hingga pelosok desa, jutaan orang masih terjebak dalam pekerjaan yang tidak layak. Mereka bekerja dengan penghasilan rendah, tanpa jaminan kesehatan, dan tanpa perlindungan hukum. Sementara perusahaan besar terus berkembang dan teknologi semakin mengubah sektor kerja tradisional, mayoritas pekerja justru semakin terpinggirkan dari sistem yang adil.

Pertumbuhan Ekonomi: Apa yang Tumbuh dan Siapa yang Diuntungkan?

Pertumbuhan ekonomi seharusnya mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Artinya, setiap persen pertumbuhan harus membawa dampak nyata, seperti meningkatnya daya beli, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperluas akses terhadap pekerjaan yang adil dan manusiawi. Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, pertumbuhan tersebut justru menciptakan paradoks. Di satu sisi, kita melihat pencapaian angka-angka makro yang mengesankan, tetapi di sisi lain, mayoritas masyarakat belum merasakan manfaat langsungnya.

Banyak orang tetap hidup dalam ketidakpastian ekonomi, bekerja keras tanpa jaminan, dan kesulitan mencukupi kebutuhan dasar. Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini adalah pertumbuhan semu, yang tidak inklusif dan gagal mendistribusikan hasil secara merata.

Kerja Ada, Tapi Tak Layak

Isu pekerjaan layak bukan hanya tentang tersedianya lapangan kerja. Lebih dari itu, ia menyangkut kualitas kerja yang ditawarkan. Apakah pekerjaan tersebut memberikan upah yang cukup, jaminan perlindungan sosial, kondisi kerja yang aman, dan ruang untuk berkembang secara profesional maupun pribadi?

Di Indonesia, banyak orang memang bekerja, tetapi masih jauh dari sejahtera. Fenomena “working poor” atau pekerja miskin semakin nyata. Mereka memiliki pekerjaan, tetapi tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini disebabkan oleh upah yang rendah, beban kerja yang tinggi, serta minimnya perlindungan dan pengakuan hukum. Bahkan di sektor formal, praktik kerja kontrak berkepanjangan tanpa kepastian status masih marak terjadi.

Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak sektor pekerjaan dibangun di atas relasi kuasa yang timpang. Pekerja dianggap sebagai beban biaya, bukan sebagai mitra produktif. Di sektor informal, mereka harus menghadapi risiko kerja sendirian.

Bonus Demografi Tanpa Strategi

Indonesia sedang dalam masa bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari usia non-produktif. Ini adalah peluang langka yang hanya datang sekali dalam sejarah suatu negara. Jika dikelola dengan tepat, bonus demografi dapat menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Namun, jika disia-siakan, justru bisa berubah menjadi beban sosial dan ekonomi jangka panjang.

Sayangnya, peluang emas ini berhadapan dengan realitas yang mengkhawatirkan, yaitu rendahnya ketersediaan pekerjaan layak untuk anak muda. Banyak lulusan SMA hingga perguruan tinggi terjebak dalam pekerjaan serabutan, menjadi gig worker tanpa perlindungan, atau bahkan menganggur karena tidak terserap oleh industri. Akibatnya, potensi mereka yang seharusnya menjadi penggerak produktivitas nasional justru terhambat oleh struktur ekonomi yang tidak ramah terhadap pekerja muda.

Ilusi Lapangan Kerja Digital

Geliat ekonomi digital sering disebut sebagai solusi modern. Di tengah kemajuan teknologi dan disrupsi model bisnis konvensional, platform digital seperti ojek online, jasa antar makanan, hingga marketplace freelance dianggap mampu menciptakan peluang kerja baru yang fleksibel dan cepat. Pemerintah pun sering menyebut sektor ini sebagai motor pertumbuhan ekonomi baru yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Namun, di balik narasi optimistis itu, tersembunyi sisi gelap yang jarang dibicarakan. Banyak pekerja digital, terutama di sektor gig economy, bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai. Mereka disebut sebagai “mitra”, bukan pekerja, sehingga tidak berhak atas jaminan sosial, upah minimum, cuti, atau perlindungan terhadap pemutusan kerja sepihak. Ketika permintaan sepi atau sistem aplikasi berubah, mereka bisa kehilangan penghasilan dalam sekejap, tanpa ada pihak yang bisa dimintai tanggung jawab.

Jalan Keluar: Pekerjaan Layak Sebagai Hak, Bukan Bonus

Pekerjaan layak bukanlah kemewahan yang hanya bisa diakses segelintir orang. Ia adalah hak dasar setiap warga negara, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan ditegaskan dalam komitmen global seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pekerjaan bukan sekadar alat untuk bertahan hidup, tapi semestinya menjadi jalan untuk hidup dengan bermartabat.

Namun, kenyataannya, akses terhadap pekerjaan layak masih sangat timpang. Mereka yang bekerja di sektor formal dengan pendidikan tinggi mungkin bisa menikmati upah tetap, tunjangan kesehatan, dan cuti tahunan. Tapi jutaan lainnya, seperti buruh tani, pekerja informal, ojek daring, dan penjaja kaki lima, harus bekerja sepanjang hari hanya untuk mengamankan kebutuhan paling dasar, tanpa jaminan hari tua atau masa depan yang jelas.

Ketimpangan ini tidak boleh dibiarkan. Negara harus hadir, bukan sekadar sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi, tetapi sebagai penjamin keadilan sosial.

Penutup: Statistik Tak Bisa Menyamarkan Realitas

Indonesia memang tumbuh, tapi siapa yang tumbuh bersama? Statistik ekonomi bisa dipoles, grafik bisa dibuat menanjak, dan angka bisa dirangkai sedemikian rupa hingga terlihat menggembirakan. Tapi di balik semua itu, ada jutaan wajah pekerja yang masih bergelut dengan ketidakpastian, hidup dari hari ke hari, tanpa kepastian masa depan.

Pertumbuhan ekonomi tidak boleh menjadi tameng untuk menutupi ketimpangan yang terus melebar. Harus menjadi kendaraan yang membawa semua orang, bukan hanya mereka yang punya akses dan modal menuju kehidupan yang lebih baik. Selama pekerjaan layak masih menjadi barang langka, maka pertumbuhan kita belum benar-benar menyentuh akar kesejahteraan.

Kini saatnya Indonesia menata ulang arah pembangunannya. Bukan sekadar mengejar angka, tetapi memastikan bahwa di balik setiap persen pertumbuhan, ada peningkatan nyata dalam kualitas hidup rakyat. Di balik setiap proyek investasi, ada perlindungan bagi para pekerja. Dan di tengah geliat ekonomi digital, masih ada ruang bagi kemanusiaan.

Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan sebuah bangsa bukan terletak pada seberapa cepat ia tumbuh, tapi pada seberapa adil ia membagi hasil pertumbuhannya.

Popular Post

medco energi

Korporasi

Medco Energi Mendapat Kredit Hingga US$ 373,6 Juta

Medco Energi Internasional Tbk (MECD) resmi menandatangani perjanjian kredit antarperusahaan dengan Medco Cypress Tree Pte. Ltd. senilai US$ 373,6 juta ...

kantor pegadaian

Korporasi

Pegadaian Kembali Juarai “The Best Company To Work For in Asia” untuk Ketujuh Kalinya

PT Pegadaian kembali dinobatkan sebagai Best Company to Work For in Asia 2025 oleh HR Asia untuk ketujuh kalinya. Pegadaian ...

Korporasi

Mayora Indah Targetkan Pertumbuhan Penjualan 10% Sebelum Akhir Tahun

PT. Mayora Indah Tbk membukukan penjualan Rp9,85 triliun sepanjang kuartal I 2025. Jumlah itu meningkat 12,5 persen dari periode yang ...

Saham

IHSG Anjlok Sementara Pasar Waspadai Perkembangan di Timur Tengah

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin sore ditutup melemah seiring pelaku pasar masih mencermati eskalasi ...

Otomotif

Sauto Expo 2025: Dorong Pasar Otomotif Semarang dengan Berbagai Promo Mengejutkan

Pameran otomotif Semarang Automotive (Sauto) Expo 2025 kembali digelar di Mal Ciputra Semarang, 13-17 Juni 2025. Sebanyak sembilan dealer atau ...

saham rekomendasi

Saham

Saham Lapis Dua Naik, Ini Rekomendasi Beli

Harga saham lapis dua di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam tren naik mulai Juni 2025. Lalu, saham lapis dua apa ...

Tinggalkan komentar