Kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk Indonesia telah menjadi perhatian serius bagi berbagai sektor ekonomi negara. Presiden AS, Donald Trump, memutuskan untuk menerapkan tarif sebesar 32 persen terhadap semua produk Indonesia yang dikirim ke AS, tanpa memandang sektornya. Keputusan ini diumumkan melalui surat resmi yang dikeluarkan pada 7 Juli 2025 dan akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025.
Dampak pada Perekonomian dan Industri Indonesia
Kebijakan ini secara langsung mengancam stabilitas perekonomian Indonesia. Menurut evaluasi dari Tempo, tambahan pungutan ini menyebabkan kenaikan harga produk Indonesia di pasar AS, yang berpotensi menurunkan permintaan konsumen. Hal ini dapat memicu dampak berantai yang merugikan berbagai sektor ekonomi.
Pertama, kebijakan ini mengancam neraca pembayaran Indonesia. Selama ini, Indonesia memiliki surplus perdagangan yang besar dengan AS, mencapai US$16,8 miliar pada tahun 2024. Penurunan ekspor akibat tarif akan menggerus surplus vital ini dan menghambat aliran masuk dolar ke dalam negeri. Tersendatnya pasokan dolar berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah, yang sudah mulai mengalami penurunan mendekati level Rp16.800 per dolar AS.
BACA JUGA
Pelemahan rupiah yang berkelanjutan dapat memicu inflasi impor, sehingga harga barang-barang impor meningkat dan memengaruhi daya beli masyarakat. Di tingkat perusahaan, sektor industri manufaktur yang padat karya menjadi yang paling terdampak. Banyak pabrik harus memangkas produksi akibat turunnya permintaan, yang berisiko menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar.
Dampak pada Praktik Transshipment
Selain itu, kebijakan ini juga berdampak pada praktik transshipment. Transshipment adalah metode di mana eksportir Cina menggunakan negara Asia Tenggara sebagai batu loncatan untuk menghindari tarif tinggi. Untuk menutup celah ini, AS kemungkinan akan menerapkan aturan asal-usul barang atau Rules of Origin (ROO) yang sangat ketat.
Contohnya, AS bisa menetapkan bahwa produk Indonesia tidak boleh mengandung lebih dari 10 persen komponen buatan Cina. Aturan ini dinilai sangat berbahaya karena sulit dipenuhi oleh industri manufaktur modern dan bisa setara dengan larangan ekspor total. Hal ini akan memperlemah sektor manufaktur lokal yang jujur dan membuat mereka lebih sulit bersaing.
Data ekonomi menunjukkan penurunan tajam Indeks Manajer Pembelian (PMI) sektor manufaktur Indonesia pada April 2025, yaitu turun ke angka 46,7 dari 52,4 bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi terparah sejak pandemi 2021, yang ditandai dengan penurunan produksi dan maraknya PHK.
Dampak pada Sektor Perikanan
Sektor perikanan Indonesia juga terkena dampak dari kebijakan tarif ini. Komoditas andalan seperti ikan dan udang kini dikenai tarif antara 32–35 persen, yang mengancam daya saing sektor ini. Selain itu, kebijakan AS yang memprioritaskan industri domestik serta pemotongan dana bantuan USAID untuk sektor kelautan semakin memperparah situasi.
Industri perikanan nasional sudah rapuh akibat biaya produksi yang tinggi, terutama karena harga bahan bakar. Meski demikian, krisis ini juga menjadi momentum untuk melakukan reformasi mendasar dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Pemerintah diminta untuk menjalankan strategi ganda, baik secara eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, pemerintah perlu mencari pasar ekspor baru seperti Timur Tengah dan memanfaatkan keanggotaan di BRICS. Sementara itu, dari sisi internal, pemerintah perlu membenahi efisiensi melalui inovasi budi daya dan penggunaan energi alternatif.
Dengan kombinasi strategi diversifikasi pasar, efisiensi biaya, dan penguatan pasar domestik, ancaman tarif dari AS diyakini dapat diantisipasi dan tidak lagi menjadi hal yang menakutkan bagi masa depan sektor perikanan Indonesia.