Menabung yang Benar: Strategi Bertahan Hidup
Pagi itu, di ruang kuliah bergaya kolonial di Fakultas Ekonomi Universitas ternama, seorang profesor sepuh berdiri di depan papan tulis. Rambutnya sudah sepenuhnya putih, jas cokelat tuanya terlihat sederhana, tapi aura wibawanya tak bisa disangkal. Di tangannya, kapur putih bergerak lambat menulis tiga kata: “Menabung yang Benar.” Ia menoleh ke mahasiswa-mahasiswinya yang duduk berjajar seperti anak panah menanti dilepas. “Anak-anak, menabung itu bukan soal menahan jajan,” katanya tenang. “Menabung itu strategi bertahan hidup.”
Di luar ruang kuliah, kata menabung sering terdengar sepele. Dianggap hanya soal menyisihkan sisa uang belanja, atau menaruh receh di celengan ayam. Tapi bagi seorang ekonom, menabung bukan hanya soal menyimpan, melainkan mengatur perilaku ekonomi dalam skala mikro yang berdampak makro. Dan kalau ditelaah lebih dalam, cara orang menabung bisa mencerminkan cara pandang mereka terhadap masa depan.
BACA JUGA
1. Menabung Itu Prioritas, Bukan Sisa
Kebanyakan orang menabung dengan cara tradisional: “kalau ada sisa, baru ditabung.” Profesor menggeleng. “Itu bukan menabung. Itu menyisakan. Menabung yang benar adalah menyisihkan di awal—bukan di akhir.”
Metode ini dikenal dengan nama pay yourself first—sisihkan tabungan segera setelah menerima penghasilan, baru kemudian gunakan sisanya untuk kebutuhan hidup. Dengan begitu, menabung menjadi prioritas, bukan pilihan. Profesor menegaskan bahwa kebiasaan ini harus ditanamkan seperti ritual bulanan, bahkan sebelum membayar tagihan.
Bayangkan saja: Anda adalah bendahara kehidupan Anda sendiri. Mana yang Anda bayar duluan—diri Anda, atau orang lain? Jika jawabannya bukan diri sendiri, maka Anda sedang membiarkan hidup Anda dikendalikan oleh tagihan.
2. Tabungan Harus Punya Tujuan
Di balik setiap tabungan yang sukses, selalu ada niat yang jelas. Menabung tanpa tujuan hanya akan berakhir sebagai angka di rekening, mudah tergoda dan mudah terkuras. Menabung untuk DP rumah berbeda dengan menabung untuk dana darurat atau liburan. Setiap tujuan punya durasi dan pendekatan berbeda.
Profesor mencontohkan dengan tabel sederhana di papan tulis:
– Dana Darurat: 3–6 bulan pengeluaran rutin, ditempatkan di rekening mudah cair.
– Tabungan Pendidikan Anak: Jangka menengah (5–10 tahun), bisa dalam bentuk deposito atau reksadana pendapatan tetap.
– Tabungan Investasi: Jangka panjang, diarahkan ke instrumen berisiko lebih tinggi seperti saham atau properti.
“Jangan samakan tabungan untuk hari hujan dengan tabungan untuk beli payung bermerek,” katanya sambil tersenyum.
3. Jangan Simpan Semua di Satu Tempat
Pepatah lama mengatakan, jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang. Hal yang sama berlaku dalam menabung. Bukan hanya soal tempat penyimpanan, tapi juga soal bentuk.
Profesor menganjurkan diversifikasi bentuk tabungan: rekening bank, emas, deposito, bahkan reksa dana. Beberapa untuk kebutuhan jangka pendek, beberapa untuk jangka menengah, dan sebagian kecil untuk jangka panjang. “Tujuannya sederhana: mencegah godaan dan memaksa disiplin,” ujarnya.
Ia menyarankan agar dana liburan disimpan di akun terpisah, bahkan bisa dengan kartu ATM berbeda. “Pisahkan uang agar Anda tidak tergoda mencampur ‘butuh’ dan ‘ingin’,” tambahnya.
4. Rumus 50/30/20, Tapi Fleksibel
Mahasiswa kemudian bertanya, “Pak, ada nggak rumus sederhana soal ngatur duit?”
Profesor menuliskan di papan:
– 50% untuk kebutuhan pokok (makan, sewa, transportasi)
– 30% untuk keinginan (hiburan, belanja, gaya hidup)
– 20% untuk tabungan dan investasi
Namun ia langsung menambahkan, “Jangan terjebak angka. Ini hanya kerangka. Dalam kondisi tertentu, Anda bisa ubah menjadi 60/10/30. Yang penting, unsur tabungan tidak pernah nol.”
Ia menekankan bahwa fleksibilitas adalah kunci keberlanjutan. “Orang terlalu keras menabung biasanya cepat patah. Menabung itu bukan sprint, tapi maraton,” katanya bijak.
5. Ubah Tabungan Jadi Otomatis
Kemalasan adalah musuh terbesar dari konsistensi. Maka menabung harus dirancang agar tetap berjalan meski Anda sedang lupa, sibuk, atau tidak semangat.
Gunakan fitur autodebet—sistem di mana bank otomatis memindahkan uang dari rekening utama ke rekening tabungan setiap bulan. Bahkan bisa diatur harian atau mingguan. Prinsipnya: “Buat sistem agar Anda tidak perlu mengandalkan niat setiap saat.”
Profesor mengutip salah satu riset perilaku keuangan yang menunjukkan bahwa kebiasaan menabung meningkat lebih dari 50% saat dibuat otomatis. “Jadi bukan orang kaya yang mudah menabung. Orang yang disiplin menabunglah yang pelan-pelan jadi kaya.”
6. Menabung Butuh Cerita, Bukan Sekadar Angka
Akhir kuliah hari itu ditutup dengan renungan. Profesor menyebut bahwa dalam ekonomi, narasi sering kali lebih kuat daripada data. “Kalau saya bilang tabung satu juta sebulan, mungkin kalian akan abaikan. Tapi kalau saya bilang, satu juta per bulan bisa menjadi uang muka rumah dalam lima tahun, kalian mulai tertarik.”
Manusia lebih mudah bergerak jika tahu cerita di balik tindakannya. Maka, dalam menabung, ciptakan cerita pribadi: untuk rumah masa depan, pendidikan anak, haji orangtua, atau keliling dunia bersama pasangan.
“Kalau tabunganmu tidak punya cerita, ia akan mudah lenyap,” ucapnya sambil merapikan tas.
Sore itu, mahasiswa pulang satu per satu. Tapi kata-kata sang profesor tetap tinggal di benak mereka. Di dunia yang dipenuhi godaan diskon, cicilan nol persen, dan gaya hidup instan, cara menabung ala profesor ekonomi terasa kuno—namun justru karena itu, ia menjadi kompas di tengah kekacauan.
Karena sejatinya, menabung bukan hanya soal uang. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap masa depan. Dan seperti kata profesor tua itu di ujung kelas, “Menabung adalah bentuk cinta paling sunyi: diam-diam, tapi menyelamatkan.”