Tantangan Tarif AS terhadap BRICS dan Persiapan Pengusaha Indonesia
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan rencana penerapan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia. Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha dan pengusaha Indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai bahwa langkah ini perlu segera diantisipasi dengan strategi yang tepat.
Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, menyatakan bahwa kebijakan ini adalah sinyal geopolitik yang harus segera dimitigasi. Ia menjelaskan bahwa bergabungnya Indonesia dalam BRICS merupakan langkah strategis untuk memperluas jejaring Global South, akses pendanaan alternatif, serta diversifikasi pasar ekspor.
BACA JUGA
Namun, Shinta juga memperingatkan adanya ancaman tarif proteksionis AS terhadap negara-negara BRICS. Menurutnya, hal ini mencerminkan dinamika perdagangan global yang semakin sarat dengan bargaining politik. Oleh karena itu, negosiasi dengan pihak AS, khususnya di era Presiden Trump, perlu dilakukan dengan kewaspadaan tinggi karena keputusan kebijakan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kepentingan politik domestik AS.
Sebagai mitra strategis pemerintah, Apindo telah aktif mengawal jalannya negosiasi kebijakan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat. Pihaknya memberikan masukan secara tertulis maupun langsung dalam berbagai forum resmi. Selain itu, Pemerintah telah memberikan second offer Indonesia yang kini telah diterima oleh USTR.
Untuk merespons ancaman baru ini, pengusaha memegang prinsip bahwa posisi tawar Indonesia harus tetap kuat. Shinta menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara BRICS lain yang memiliki profil komoditas dan struktur industri yang berbeda.
Langkah Konkret yang Disiapkan oleh Apindo
Apindo telah menyiapkan beberapa langkah konkret untuk menghadapi potensi kebijakan ini. Berikut adalah beberapa di antaranya:
- Mendorong peningkatan impor komoditas strategis: Mengurangi defisit impor AS dengan membuka ruang peningkatan impor komoditas seperti kapas, kedelai, dairy products, jagung, hingga crude oil. Ini akan menjadi win-win scenario agar kebutuhan industri domestik tetap terjamin sekaligus menjawab concern AS.
- Memperluas penetrasi pasar non-tradisional: Meningkatkan daya saing rantai pasok dan efisiensi produksi melalui ekspansi pasar yang lebih luas.
- Mengurangi hambatan non-tarif dan memperkuat mekanisme trade remedies: Untuk melindungi pasar domestik dari potensi limpahan barang murah akibat trade diversion sesama anggota BRICS.
Shinta menyoroti bahwa jika tambahan tarif 10% benar-benar diberlakukan, dampaknya akan sangat menekan industri padat karya seperti tekstil, furnitur, alas kaki, hingga mainan yang ekspornya ke AS masih signifikan. Hal ini semakin memperparah tren penurunan ekspor dan kinerja industri manufaktur.
Tantangan dan Peluang yang Ada
Meskipun ketergantungan ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10% dari total ekspor, risiko penurunan permintaan global, masuknya barang murah/ilegal, serta tingginya biaya berusaha tetap menjadi tantangan nyata yang harus diantisipasi bersama.
Namun, Shinta melihat ada peluang besar dengan status Indonesia sebagai anggota BRICS. Dengan demikian, Indonesia memiliki akses lebih besar ke New Development Bank, jalur pembiayaan alternatif, serta pasar intra-BRICS yang makin terintegrasi.
Kunci utama, menurut Shinta, adalah fokus pada competitive advantage, memperkuat value chain, serta menjaga sustainability dan resilience.
Ancaman Tarif Trump terhadap Negara yang Dianggap Anti-Amerika
Sebelumnya, Trump sempat menyatakan akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara mana pun yang dianggap sejalan dengan kebijakan anti-Amerika yang diusung BRICS. Ancaman ini menambah ketidakpastian di tengah negosiasi tarif dagang yang masih berlangsung dengan sejumlah mitra dagang AS.
Trump menegaskan bahwa tidak akan ada pengecualian terhadap kebijakan ini. Ia juga pernah mengancam akan mengenakan tarif hingga 100% terhadap BRICS jika negara-negara anggota meninggalkan penggunaan dolar AS dalam perdagangan bilateral.