,
Jakarta
–
–
Kemiskinan struktural menjadi salah satu bentuk
kemiskinan
yang ada di Indonesia. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang diakibatkan oleh timpangnya akses suatu masyarakat terhadap kesempatan untuk mendapat kehidupan yang lebih layak.
Lebih lanjut,
kemiskinan struktural
adalah bentuk kemiskinan yang disebabkan oleh ketimpangan sistemik dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik suatu masyarakat. Berbeda dari kemiskinan sementara yang mungkin muncul akibat kejadian tertentu seperti bencana alam, kehilangan pekerjaan, atau krisis ekonomi, kemiskinan struktural bersifat lebih mendalam dan berkelanjutan karena berakar pada pola ketidakadilan yang telah mengakar dalam institusi dan kebijakan publik.
Dilansir dari
easysociology.com
dan
mattbruenig.com
, pada dasarnya kemiskinan struktural terjadi bukan semata-mata karena kurangnya usaha individu, melainkan karena individu atau kelompok masyarakat tertentu menghadapi hambatan sistemik yang menghalangi mereka untuk keluar dari kondisi kemiskinan. Hambatan ini bisa berupa terbatasnya akses terhadap pendidikan bermutu, layanan kesehatan yang layak, lapangan kerja yang adil, tanah dan sumber daya alam, atau bahkan keadilan hukum.
BACA JUGA
Semua faktor tersebut saling terkait dan membentuk sistem yang sulit ditembus, terutama oleh kelompok masyarakat yang secara historis telah termarginalkan, seperti petani kecil, buruh informal, masyarakat adat, atau warga di daerah terpencil.
Misalnya, seorang anak dari keluarga miskin di daerah perdesaan mungkin tidak memiliki akses ke sekolah yang layak, karena jaraknya jauh, biaya tinggi, atau mutu pengajaran yang buruk. Ketika ia tumbuh dewasa, ia kesulitan bersaing di pasar kerja formal yang menuntut keterampilan tinggi.
Akibatnya, ia cenderung terjebak dalam pekerjaan informal dengan penghasilan rendah, tanpa perlindungan sosial yang memadai. Siklus ini kemudian berulang pada generasi berikutnya, karena anak-anaknya menghadapi kondisi serupa. Inilah yang disebut sebagai lingkaran kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural juga dapat diperparah oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kelompok rentan. Misalnya, pembangunan ekonomi yang terlalu terpusat di kota besar bisa menyebabkan daerah pedesaan tertinggal. Demikian pula, sistem perpajakan yang regresif atau subsidi yang lebih banyak dinikmati kelas menengah atas akan memperdalam jurang ketimpangan. Dalam hal ini, kemiskinan tidak hanya menjadi masalah ekonomi, tetapi juga cerminan dari ketidakadilan sosial dan politik.
Lebih jauh lagi, kemiskinan struktural dapat memperkuat ketimpangan kekuasaan. Masyarakat miskin sering kali tidak memiliki suara politik yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Akibatnya, mereka terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan sistem sosial yang eksklusif dan mempertahankan status quo, di mana kemiskinan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kemiskinan struktural membuat kelompok miskin jarang memiliki wakil yang benar-benar mewakili mereka dalam lembaga legislatif atau pemerintahan. Elite politik yang terpilih umumnya berasal dari kelas menengah atas atau elite ekonomi, yang memiliki sumber daya besar untuk mencalonkan diri. Sementara itu, orang miskin hampir tidak punya akses untuk duduk di posisi tersebut, baik karena keterbatasan modal, pendidikan, maupun jejaring politik.
Akibatnya, agenda kebijakan yang dihasilkan lebih banyak mencerminkan kepentingan kelompok elite, seperti insentif pajak untuk korporasi,
pembangunan infrastruktur
besar yang tak selalu menyentuh kebutuhan dasar rakyat miskin, atau prioritas anggaran yang bias kota dan bias sektor formal. Hal ini memperkuat eksklusi sosial dan ekonomi masyarakat miskin.