, JAKARTA — Eskalasi
tensi geopolitik
di Timur Tengah akan mengerek naik harga komoditas
ekspor
unggulan Indonesia, yakni batu bara dan CPO, dan menjadi angin segar bagi kinerja
neraca perdagangan
.
Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia diminta untuk melepas ketergantungan terhadap kedua komoditas ini dengan meningkatkan upaya diversifikasi ekspor.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (
BNLI
) Josua Pardede menjelaskan bahwa ketergantungan ekspor Indonesia terhadap batu bara dan Crude Palm Oil (CPO) masih tergolong tinggi. Kedua komoditas tersebut secara konsisten menyumbang porsi besar dalam total ekspor non-migas Indonesia.
BACA JUGA
“Fluktuasi harga keduanya berdampak signifikan terhadap kestabilan makroekonomi dan fiskal negara,” kata Josua saat dihubungi pada Senin (23/6/2025).
Sebagai gambaran, Josua menjelaskan setiap kenaikan 10% harga komoditas dapat mengurangi defisit neraca transaksi berjalan (
current account deficit
/CAD) sekitar 0,11%—0,13% dari PDB. Hal tersebut karena batu bara dan CPO merupakan dua dari komoditas terbesar dalam struktur ekspor Indonesia.
Sebaliknya, penurunan harga dua komoditas tersebut akan menyebabkan penurunan tajam pendapatan negara dari ekspor. Hal ini akan menambah tekanan terhadap keseimbangan eksternal dan nilai tukar rupiah.
Selain itu, penurunan harga juga berimbas langsung pada penerimaan pajak dan non-pajak, khususnya bea keluar dan pajak perusahaan berbasis komoditas.
Untuk mengurangi risiko ketergantungan ini, Josua menegaskan diversifikasi ekspor perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Dia menuturkan, strategi diversifikasi dapat ditempuh melalui penguatan hilirisasi industri, pengembangan industri manufaktur bernilai tambah tinggi, serta perluasan pasar ekspor produk-produk non-komoditas seperti produk elektronik, kendaraan listrik, dan sektor jasa digital.
Selain itu, meningkatkan investasi dalam infrastruktur logistik serta memperkuat peran sektor swasta dalam pengembangan produk ekspor juga perlu diprioritaskan.
“Langkah ini diharapkan dapat menciptakan sumber pendapatan negara yang lebih stabil dan berkelanjutan, sekaligus mengurangi eksposur terhadap gejolak eksternal yang sering kali bersifat mendadak dan sulit diprediksi,” kata Josua.
Dia menjelaskan, lonjakan harga komoditas yang dipicu oleh konflik Iran-Israel pada 2025 memberikan dampak positif namun cenderung bersifat sementara terhadap surplus neraca perdagangan Indonesia.
Secara historis, peningkatan tajam pada harga komoditas utama ekspor Indonesia seperti batu bara dan CPO telah menopang surplus neraca perdagangan dalam jangka pendek.
Namun, dia menyebut dampak tersebut tidak serta-merta menjadi penopang jangka panjang, mengingat lonjakan tersebut lebih banyak didorong oleh faktor eksternal yang bersifat siklikal dan geopolitik.
“Begitu harga komoditas kembali normal setelah tensi geopolitik mereda, surplus perdagangan cenderung kembali mengecil atau bahkan berbalik menjadi defisit, terutama jika kebutuhan impor minyak Indonesia juga melonjak akibat kenaikan harga energi global,” kata Josua.